Problematika "Bebuang" Warga Jogja

Urusan ‘bebuang‘ masih belum menjadi hal utama dalam masyarakat. Buktinya masih banyak orang yang semena-mena terhadap sisa olahan makanan mereka. Padahal hal itu dapat menjadi masalah besar.

Sanitasi memang tidak disebutkan secara eksplisit dalam salah satu kebutuhan primer manusia(sandang, pangan, papan dan pendidikan). Padahal sanitasi seharusnya masuk dalam kebutuhan papan. Papan yang dimaksud juga meliputi kesehatan, kebersihan, kelayakan tempat tinggal, tak terkecuali sanitasi. Urusan BAB ini tidak bisa hanya ‘mandeg’ pada keluarnya tinja dari perut. Harus adanya perlakuan yang benar agar tidak menimbulkan masalah lain. 

Tinja berpotensi menjadi salah satu penyebar penyakit. Dari berbagai jenis bakteri dalam tinja, yang paling dominan adalah E-Colli. E-Colli merupakan salah satu bakteri penyebab diare. Dilaporkan oleh MDGs (Millenium Development Goals) diare menjadi penyebab kedua kematian bayi di Indonesia pada 2007. Bakteri E-Colli ini menjadi akrab dengan warga melalui air minum. Masalahnya adalah kesalahan penempatan septic tank. Idealnya septic tank dibangun minimal berjarak tujuh meter dari sumur. Hal ini dimaksudkan agar  bakteri  tinja tidak mencemari air sumur.

Ekspresi Edisi XXII. Th. XVII. Oktober 2009 pernah melakukan polling terhadap  masalah perjambanan di DIY. Ditemukan 87,2% posisi  jamban masyarakat berada di sekitar  rumah, 2,8% berada di atas kolam, 9,8%% di ats ungai dan sisanya diatas  selokan/parit. Melalui data tersebut dapat dijelaskan bahwa masih ada 15,6% yang BAB di tempat yang tidak sepantasnya. Angka 15,6% merupakan angka yang kecil, namun jika dihitung dengan jumlah masyarakat kota yang mencaai kurang lebih 500.000 jiwa maka masih ada 80.000 penduduk yang BAB di tempat – tempat terbuka.

Data tersebut juga mengindikasikan bahwa pembangunan fasilitas sanitasi belum menjadi prioritas warga. Boleh dikatakan warga lebih mementingkan urusan bahan yang masuk perut, alih-alih ampas yang dikeluarkan. Melihat pada kondisi di atas, saya rasa pantas untuk warga Jogja menyerukan  keadaan Yogyakarta Darurat Jamban. 

Sebagai upaya pencegahan dan penyadaran, perlunya bagi pemerintah untuk memanfaatkan media massa. Sebagai salah satu sarana pembentuk opini publik, televisi memiliki hegemoni terhadap pikiran dan opini masyarakat. Pemerintah dapat  memanfaatkan kuasa media sebagai  salah satu cara untuk menanamkan kesadaran dalam sanitasi.

Selain itu, saya juga mengamini salah satu program pemerintah tentang sertifikasi jamban. Sebagaimana sudah dilaksanakan di Kebumen (Ekspresi Edisi XXII. Th. XVII. Oktober 2009 ) Program ini sebagai salah satu sarana motivasi warga untuk tidak BAB sembarangan. Sembarangan yang dimaksud adalah tidak meniggalkan tinja diatas tanah tanpa diisolasi.

Agar program sertifikasi tetap berlanjut, hend aknya pemerintah memberikan reward  kepada desa yang berhasil mendapatkan sertifikasi tersebut. Reward tersebut salah satunya dapat berupa penambahan dana pengelolaan desa.  Hal tersebut agar menjadi motivasi bagi warga untuk tidak melakukan kegiatan BABS.

Selain itu, perlu juga dibangun wc umum di wilayah kota.. Wc umum dapat ditempatkan di tempat-tempat parkir, terminal, taman kota dan tempat umum lainnya. Namun yang perlu diperhatikan adalah kelayakan wc umum tersebut. Pembangunan wc umum tidak bisa dicanangkan hanya sebagai formalitas semata. Harus ada perawatan yang berkelanjutan agar fasilitas itu tetap bersih dan layak pakai. Dengan diadakannya program tersebut, diharapkan kebiasan BABS yang hampir membudaya tidak menjadi hal yang lumrah. Selain itu, pengelolaan sanitasi yang baik dapat mereduksi penyebaran penyakit melalui tinja.

 

Ditulis oleh: Arni Arta

Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi UNY

Dimuat di koran Harian Jogja