Revolusi Penonton Televisi Indonesia

Menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada tahun 2015, kebanyakan publik yang berdomisili di DKI Jakarta dan sekitarnya, informasi perkembangan kondisi perkotaan, baik tentang pemerintahan, transportasi, maupun gaya hidup, paling nyaman dikonsumsi lewat televisi. 

Sedikitnya tiga dari lima responden (71,7 persen) yang ditemui dalam wawancara tatap muka menyatakan hal tersebut. Televisi masih menjadi media yang digemari banyak orang untuk memperoleh beragam informasi. Meski perkembangan teknologi menghadirkan situs berita online dan media sosial, televisi tetap menjadi andalan sebagian besar penduduk Jakarta untuk memperbarui informasi.

Jika dicermati, tren program acara di televisi cenderung seragam dalam satu waktu. Ketika berita artis kondang, pendatang baru yang rupawan, hingga selebritas yang bermasalah menjadi nilai jual tersendiri, beragam kemasan program yang disajikan layaknya pemberitaan menjamur di berbagai stasiun televisi.  Umumnya, corak program televisi cenderung bergeser dalam kurun waktu tertentu sejalan dengan selera pemirsa. Pada tahun 2015, Komisi Penyiaran Indonesia dan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia serta sembilan perguruan tinggi di sembilan kota di Indonesia melakukan survei. 

Hasilnya, indeks kualitas program siaran 15 televisi di Indonesia hanya 3,27 atau masih di bawah standar ketentuan KPI, yakni 4,0. Program acara masih didominasi oleh infotainment, sinetron, dan variety show yang mendapat penilaian rendah. Tentu hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pekerja di industri televisi agar bisa memproduksi tayangan televisi yang lebih berkualitas.

Insan pertelivisian sendiri tidak banyak memberikan opsi program lain kepada penonton, sehingga sebenarnya penonton tidak terlalu banyak pilihan atas genre program yang bisa mereka pilih. Penonton kembali didikte stasiun televisi yang sudah memilih jenis program yang itu-itu saja, yang ditayangkan oleh stasiun-stasiun televisi tersebut. Kebanyakan stasiun televisi pada akhirnya memang tidak berani melakukan inovasi terhadap program yang mereka tayangkan. Keharusan membuat program yang harus ditonton sebanyak mungkin penonton hingga bisa mendapatkan iklan yang banyak hanya diartikan sempit, yaitu hanya menayangkan program yang sesuai dengan selera pasar saja. 

Tidak ada upaya untuk keluar dari mainstream jenis program, sehingga tidak banyak lahir program yang unik atau beda antar satu stasiun televisi dengan stasiun televisi lain. Bahkan, lebih parahnya, pengisi acara atau talent yang ditampilkan semua stasiun televisi hampir seragam, yaitu mereka yang kebetulan sedang popular pada saat itu. 

Sementara keharusan membuat program yang berkualitas bagus baik secara isi maupun pengemasan, diartikan hanya sebagai program yang enak untuk dilihat dan ditonton saja. Mereka tidak lagi peduli bahwa program itu hanya pengulangan dari program yang dulu pernah dibuat dan sukses ditonton banyak orang. 

Keharusan membuat program untuk tidak melanggar aturan main dalam regulasi penyiaran juga akhirnya hanya menjadi belenggu kreativitas stasiun televisi dan praktisi penyiaran untuk bermain lebih aman lagi, tanpa perlu memikirkan suatu tontonan yang bisa memberikan nilai lebih bagi penontonnya. 

Dengan alasan ketakutan pada regulasi penyiaran, program yang dihasilkan ibaran sayur tanpa garam, yang tidak punya nyawa kreativitas. 

Selain melalui saluran televisi biasa, kemunculan TV kabel dapat memberikan alternative pilhan bagi permirsa mulai dari tayangan drama, olahraga, ensiklopedia, hingga program kartun bagi anak-anak. 

Saat ini, jumlah stasiun televisi berbayar mencapai 1,26 persen dari seluruh stasiun televisi yang ada. Apalagi dengan kelebihan televisi berbayar yang mengutamkan kenyamanan saat menonton. Penonton bisa menonton program yang diinginkan kapan saja selama 24 jam karena selalu ada siaran ulangan. Pilihan saluran pun banyak dan variatif. Gambar yang diterima pun sangat jernih, berbeda dengan siaran televisi biasa yang gambarnya kadang buram, tergantung posisi antena penerima dan kekuatan sinyal televisi yang dipancarkan. 

Pelanggan saluran televisi berbayar harus menyediakan khusus untuk memperoleh berbagai kenikmatan tersebut. Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas, rata-rata pelanggan televisi berbayar di Jakarta menyediakan anggaran sekitar Rp 270.000 per bulan.

Seiring teknologi yang semakin maju dan fasilitas internet yang semakin memadai, mulai berkembangnya on demand audience yaitu penonton televisi yang hanya ingin menonton program televisi sesuai dengan kenyamanan mereka baik waktu, tempat, program yang disukai dan kesempatan yang mereka inginkan. 

Penonton on demand tidak lagi hal yang aneh beberapa tahun kedepan atau lebih cepat dari itu karena menurunnya trend penonton televisi saat ini bisa jadi karena penonton tradisional yang tadinya punya tradisi menonton televisi seperti biasanya, karena adanya kemudahan mendapatkan akses internet dan gadget yang makin canggih tapi murah akan melakukan kegiatan menonton sesuai selera dan kenyamanan mereka. 

Bila penonton on demand pada akhirnya menjadi dominan artinya sponsor akan beralih dari televisi ke media internet dan sosial media lainnya karena secara nilai/harga lebih murah dan efektif. Berbagai jenis program seperti kesehatan, olah raga, fashion, agama dan lain-lain punya penggemar tersendiri, artinya akan secara mudah dan tepat sasaran sponsor menyasar target audience produk yang mereka pasarkan. 

Lantas bila pemirsa televisi semakin sedikit bagaimana dengan produksi program televisi? Jelas makin mahal karena sponsor berkurang dan bisa jadi stasiun televisi besar saat ini harus ikut bertarung dengan stasiun tv lokal/Production House yang punya sarana penayang “YouTube” dalam memproduksi konten yang disenangi masyarakat. Dan bila pengelola televisi masih terus menggunakan konsep-konsep lama dalam mengelola program dan produksi televisinya, para penonton pun akan dengan mudah pula menciptakan konten yang sesuai dengan keinginan mereka. 

Bila ini terjadi siapakah penonton televisi saat ini dan masa depan sebenarnya? Apakah rating hanya menghitung dan menyaring kuantitas penonton tapi bukan kualitas penonton ? Revolusi digital telah mengubah peta pertelevisian baik dalam cara menonton dan juga bisnis televisi yang mengiringinya. 

 

Penulis: Wahyu Agus Dwi Atmoko (Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNY Angkatan 2014)

Dikutip dari http://www.medialight.id/