ERA DIGITAL MEMBUAT NETIZEN KRISIS IDENTITAS

Semakin padatnya arus informasi di era Internet membuat sebagian warganet kehilangan identitas. Jati diri pun terkadang terseret arus tren yang marak, terutama di dunia maya. Hal itu terungkap dalam Seminar Nasional Krisis Identitas di Era Digital yang digelar Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Himakom) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) di Auditorium UNY, Selasa (10/10). 

Peneliti Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) Wisnu Martha Adiputra yang menjadi pembicara dalam kegiatan ini menyebutkan perkembangan teknologi informasi membuat media digital saat ini memiliki kekuatan yang luar biasa untuk membentuk identitas penggunanya. Jika tidak disikapi dengan kemampuan literasi yang baik, bukan tidak mungkin identitas pengguna media digital akan bergeser mengikuti apa yang sedang menjadi tren. "Siapa yang diikuti, apa yang disampaikan, itu akan menggambarkan diri penggunanya," kata Wisnu, Selasa. 

Efek ini menurut Wisnu sebenarnya juga terjadi di media massa. Hanya saja media massa saat ini sudah tak sesakti dahulu dalam memengaruhi identitas khalayaknya. Dia menjelaskan, pada media massa ada jarak antara pengirim pesan dengan khalayak karena proses mediasi di dalamnya. Sebaliknya media digital terutama media sosial, tampil nyaris tanpa mediasi pesan. Informasi yang didapatkan langsung diterima oleh warganet tanpa proses seketat media massa. "Sekarang semua bisa dilihat langsung di akun medsos," ujar dia.  

Co-founder dan CEO media alternatif Hipwee, Nendra Rengganis dalam kesempatan yang sama memaparkan betapa padatnya informasi di era Internet. Data yang dirilis laman berbagi video Youtube pada 2015 mencatat dalam sehari setidaknya terdapat 400 menit konten video yang diunggah. Instagram pada tahun yang sama mencatat dalam sehari bahkan ada 80 juta konten yang diunggah penggunanya hanya dalam waktu sehari. "Artinya kita sekarang hidup di dunia yang sangat banjir informasi. Andaikan kita ada dalam mangkok, kita sudah tenggelam dalam banyaknya informasi baru yang muncul dalam sehari," beber dia. 

Kondisi ini menurutnya membuat identitas diri semakin sulit dijelaskan. Identitas seorang pengguna Internet akan dikendalikan oleh konten dan tren yang tersaji di hadapannya. Karena itu jika warganet tak bisa menemukan jati diri dan jujur mempertahankannya maka identitasnya akan terus terombang-ambing dalama pusaran arus informasi yang ada. "Maka kita sebagai pengguna harus cerdas, bila tak suka sebuah konten biarkan saja, itu akan membunuh konten negatif. Bila kita men-dislike atau mengomentari maka konten itu justru akan terus hidup karena mendapatkan respons," ungkapnya. 

Tim Kreatif Net TV Wiwid Novia Susanti menyoroti sulitnya mengakomodasi perbedaan identitas khalayak dalam membuat sebuah konten penyiaran. Menurutnya era media digital membuat setuap orang bebas berkomentar. Mirisnya, tak sedikit yang menggunakan fasilitas ini untuk berkomentar negatif dan nyinyir. Padahal banyak manfaat positif yang bisa didapat dari fitur ini. 

Kodisi ini menurut dia menuntut tim kreatif media penyiaran untuk lebih teliti dalam memproduksi konten. Sebisa mungkin mereka membuat konten yang netral tanpa menyudutkan salah satu pihak. Langkah itu menurut Wiwit dilakukan agar konten yang dihasilkan bisa dinikmati semua orang dan tak menuai kontroversi. "Itu saja kadang masih ada yang berkomentar negatif. Kalau saya komentar itu saya jadikan masukan tapi tidak dimasukkan ke hati," katanya.

Seminar ini merupakan agenda tahunan Himakom UNY. Sebanyak 300 peserta hadir dalam kegiatan ini. Panitia Semnas Krisis Identitas di Era Digital, Muhamad Yahya berharap kegiatan ini dapat membuka mata pengguna media digital, terutama media sosial terhadap potensi negatif media baru ini. "Apalagi sekarang antara ruang pribadi dan ruang publik sudah tidak ada lagi benteng. Semua orang bisa mempublikasi kegiatannya dari bangun tidur sampai tidur lagi. Banyak pula yang orang yang gemar mencaci di media sosial," urainya. (Gilang)