Banyak Hotel, Sedikit Penghuni

Persaingan hotel di Jogja sudah tidak sehat. Demi meningkatkan okupansi hotel, hotel-hotel bintang lima atau empat mempromosikan hotelnya dengan harga hotel bintang tiga atau dua dimana hal ini merupakan bentuk persaingan yang tidak sehat diantara hotel yang berdiri di Yogyakarta. Oleh sebab itu, pemerintah menuangkan peraturan moratorium atau pengendalian pembangunan hotel dalam Peraturan Walikota (Perwal).

Peraturan tentang moratorium ini tercantum dalam Peraturan Walikota (Perwal) Yogyakarta Nomor 77 Tahun 2013 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel yang berlaku sejak 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Desember 2016. Kemudian moratorium ini diperpanjang dalam Peraturan Walikota Yoygakarta Nomor 55 Tahun 2016 yang di dalamnya tertulis Perwal Nomor 77 Tahun 2013 berlaku sampai 31 Desember 2017. Moratorium ini dinilai dapat melindungi persaingan hotel di Yogyakarta. Meski moratorium dinilai positif, namun nyatanya moratorium ini belum berjalan efektif. Sejauh ini masih banyak yang mengajukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) hotel, yang seharusnya izinnya tidak diterbitkan karena moratorium. Tetapi nyatanya masih ada IMB yang terbit. Pemerintah tidak bisa menolak menerbitkan izin karena syarat pembangunan dari pihak hotel yang mengajukan IMB telah lengkap.

Mengapa moratorium hotel di Yogyakarta dinilai penting? Dengan adanya hotel beberapa sisi positif dapat kita ambil, seperti meningkatkan pendapatan daerah, tercipta lapangan pekerjaan. Namun apa yang terjadi jika sudah terlalu banyak hotel? Sekarang tingkat okupansi hotel masih rendah, apalagi jika hotel terus dibangun. Semakin banyak hotel, tingkat okupansi hotel akan semakin turun. Maka dari itu diberlakukanlah moratorium hotel atau pengendalian pembangunan hotel.

Lalu, bagaimana dampak pembangunan hotel ini kepada masyarakat? Salah satunya akan terjadi krisis air. Rumah warga yang berdekatan dengan hotel, sumurnya kering akibat berebut air tanah dengan hotel. Bayangkan saja penggunaan air di sebuah hotel, ada ratusan kamar dalam sebuah hotel, otomatis sangat banyak air yang digunakan oleh hotel tersebut apabila dibandingkan dengan satu rumah yang memiliki sumur dan hanya dihuni oleh 3-5 orang.

Dampak selanjutnya yang bisa dirasakan adalah akan mudah terjadi banjir. Dengan dibangunnya hotel, daerah resapan air serta ruang terbuka hijau akan semakin berkurang. Jika sudah memasuki musim penghujan, pasti banjir akan datang lebih cepat jika keadaan terus begini. Hotel yang bangunannya tinggi pun sebenarnya rawan apabila terjadi gempa. Orang yang berada di bangunan tinggi pasti akan sulit dievakuasi.

Masyarakat akan kontra dengan hal-hal seperti ini. Mereka pasti merasa dirugikan jika pembangunan hotel masih dilanjutkan. Air sulit didapat, demikian juga dengan sinar matahari. Bangunan hotel yang tinggi menghalangi sinar matahari ke bangunan yang lebih rendah di sekitar bangunan hotel yang tinggi.

Sebagai masyarakat kita boleh menyampaikan asprirasi kita terkait pembangunan hotel. Tentunya kita harus menolak apabila ada pembangunan lagi, karena tidak sedikit pihak yang rugi akibat pembangunan. Warga semakin susah mendapat air dan sinar matahari ketika pembangunan hotel tidak dihentikan, hotel-hotel yang sudah ada pun menjadi ketat persaingannya saat hotel baru berdiri. Kita patutnya saling menjaga agar tidak ada satu pihak pun yang merasa rugi dan demi Yogya berhati nyaman tetap berhati nyaman.

 

Ditulis oleh: Ni Putu Hanum Saraswati

Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta

Dimuat di koran Harian Jogja