Living Alongside Information

Internet dapat diibaratkan sebagai seluruh lautan di bumi ini--kita tahu bagian mana yang dalam, bagian mana yang dangkal, bagian mana yang memiliki jenis arus apa, tapi kita tidak bisa mengendalikan lautan. Kita tahu situs apa yang kita inginkan, dan cara mencarinya, namun tidak ada yang memiliki kendali penuh atas internet.
 
Inilah hal yang menyebabkan hukum dan konstitusi masih memiliki pegangan yang licin terhadap media baru; skalanya yang besar dan mencakup berbagai negara sekaligus. Lalu, mengapa mereka tidak membuat sebuah hukum yang mencakup segala aspek media baru?
 
Halangan yang terkait dengan pertanyaan tersebut adalah, pertama, karena kebebasan informasi dalam media online juga tidak terkecuali dari hak asasi manusia yang paling dasar, yaitu untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan. Dengan mengeluarkan hukum yang membatasi penggunaan media baru, secara tidak langsung hukum juga bersangkutan dengan konstitusi hak asasi manusia, yang telah disetujui secara internasional.
 

 

Halangan yang kedua adalah karena konstitusi negara hanya berlaku dalam jangkauan tertentu—artinya, seseorang dapat melakukan kejahatan siber dari sebuah negara yang konstitusinya kurang ketat. Terlebih lagi, karena sifatnya yang tidak fisik, segala tindakan dalam media online sulit dilacak keberadaannya. Bahkan, meskipun sebuah tindakan telah berhasil dilacak, apabila pelakunya ditemukan berada di negara lain, yurisdiksi konstitusi negara asalnya tidak akan berlaku, dan kasus tersebut akan menjadi urusan tingkat internasional.
 
 
Kesimpulannya, media online dapat mengambil bentuk apapun yang ia inginkan, dan membuat serangkaian peraturan baru tak tertulis bersamanya. Daripada terus melihat media online sebagai sebuah “media”, mungkin akan lebih tepat untuk memandangnya sebagai sebuah “dunia”—dunia maya, di mana terdapat segala aspek sosial dari dunia nyata, namun dalam bentuk tidak fisik—e-commerce, e-government, e-learning, dan seterusnya.
 
 
Salah satu pendapat adalah bahwa hukum media konvensional masih dapat berlaku terhadap media baru, hanya saja diperlukan beberapa penyusunan ulang kata-kata dalam konstitusi. Namun, pada kenyataannya, setelah dikaji lebih lanjut, media baru benar-benar berbeda dari bentuk media konvensional, dan diperlukan pula seperangkat peraturan baru untuk membimbing penggunaannya (Van Dijk, 1999: 132).
 
Diperlukan pendekatan baru terhadap media baru. Sejauh ini, pendekatan konstitusi dan semacamnya terhadap media baru hanya berorientasi terhadap organisasi media pemilik dan upaya badan hukum menampungnya, namun belum ada tindakan yang konkret dalam mencegah penyalahgunaan media baru dari akarnya—para pengguna itu sendiri. Pemerintahan hanya “mengancam” bahwa mereka yang tertangkap melakukan penyalahgunaan media baru akan dikenakan tuntutan hukum—meskipun realita berkata lain. Kasus menyangkut kriminalitas siber sangat sulit dilacak, dan sedikit tindak lanjut telah dilakukan.
 
 
Edukasi mengenai media harus mulai diterapkan secara meluas, karena media sekarang telah “berevolusi” menjadi lebih dari sekedar sarana bagi organisasi media untuk menyalurkan pesan ke audiens mereka. Kita sekarang berkomunikasi menggunakannya, mencari konten komedi, berita secara cepat—media telah menjadi bagian dari tubuh manusia, sebuah organ yang tertanam dan telah berakar—tidak mungkin dicabut secara tiba-tiba, namun dapat digunakan secara efisien dan efektif.
 
 
Untuk mengakhiri, sekali lagi, quote Marshall McLuhan akan diutarakan; medium is the message. Pesan ini merupakan dasar untuk membentuk literasi media, yang diperlukan agar kita dapat bertahan dan tidak terhanyut dalam lautan informasi yang arusnya tidak dapat dikendalikan oleh siapapun.
 
Penulis: Pamadya Andanawarih (Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNY Angkatan 2014)