Penyakitmu, Ada di Jambanmu

Zaman sudah modern, namun minat masyarakat terhadap kepunyaan jamban dirumah sendiri masih sangat rendah. Mereka lebih memilih untuk membuang air besar maupun air kecil di sungai atau di kolam. Mengutip dari Badan Perencaan Pembangunan Nasional (Bappernas), Indonesia menempati sanitasi terburuk kedua di dunia. Setidaknya ada 28 juta orang di indonesia BAB di sembarang tempat.Padahal jamban merupakan tempat paling mudah untuk menularkan bakteri dan virus penyebab penyakit.

Kebersihan mutlak sangat diperlukan , apalagi sekarang cuaca yang sangat ekstrim. Beberapa penyakit yang dapat disebarkan oleh tinja manusia antara lain diare, tifus , disentri, kolera, bermacam – macam cacing. Di Indonesia sendiri menurut data pada tahun 2011, ada 160.000 jiwa yang meninggal karena diare dan tifus (Kemenkes RI, 2011). Bahkan menurut hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukan bahwa penyakit diare penyebab utama kematian pada balita.

Penduduk Indonesia yang menggunakan jamban (WC) sehat hanya 54 % saja padahal menurut studi menunjukan bahwa penggunaan jamban sehat dapat mencegah penyakit diare sebesar 28 % (Depkes RI, 2009).Alasan utama yang selalu diungkapan oleh masyarakat adalah karena masalah ekonomi. Padahal untuk membuat jamban sendiri tidak harus mewah dengan biaya yang mahal. Cukup sederhana saja sesuai dengan keadaan ekonomi keluarga masing – masing. Masyarakat lebih memilih memiliki uangnya untuk membeli barang yang kurang dibutuhkan.

Di Jogja sendiri, menurut Dinas Kesehatan DIY ribuan KK belum memiliki jamban. Mereka lebih memilih untuk menumpang untuk BAB kepada tetangga atau saudaranya. KK yang masih menumpang terbanyak ada di Gunungkidul sebanyak 33.098 keluarga. Kemudian disusul oleh Sleman sebanyak 18.068 KK, Kulonprogo 9.529 KK, Bantul 6.968 KK dan yang terakhir Kota Jogja yang terbilang masyarakatnya sudah modern namun masih cukup banyak yang belum memiliki jamban, yaitu 5.035 KK.

Bapernas menyatakan bahwa di masa lalu banyak bantuan yang diberikan pemerintah untuk penyehatan lingkungan terutama jamban bagi keluarga rupanya tidak sesuai harapan. Prasarana dan saran yang telah dibangun kurang dimanfaatkan dengan baik dan tidak ada kesadaran masyarakat untuk melanjutkan pelayanan yang telah diberikan pemerintah.

Rendahnya partisipasi masyarkat kurang lebih disebabkan program pembangunan jamban yang dilaksanakan selama ini kurang optimal khusunya dalam membangun perubahan masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan jamban. Pemerintah hanya berorientasi pada pembangunan fisik jamban saja, Penyampaian sosialisasi program cenderung hanya bersifat satu arah dan memandang rakyat sebagai objek pelayanan masyarakat. Untuk meningkatkan pengetahuan atau informasi tentang pentingya jamban bagi kesehatan seharusnya pemerintah menempatkan masyarakat sebagai subjek juga. Keberhasilan suatu organisasi sosial dilihat dari seberapa besar presentasi masyarakat untuk ikut berpartisipasi. Masyarakat tidak hanya mendengarkan sosialisasi yang diberikan petugas kesehatanya saja, namun juga harus aktif berperan dalam mencari informasi bagaimana jamban bisa dikatakan sehat untuk bersama. Dalam mencari informasi, maka akan meningkatkan pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam menjaga kesehatan jamban dilingkungan sekitar.

Dalam hal ini dapat dikatakan pengetahuan sangat penting dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat. Pengetahuan yang rendah merupakan salah satu penyebab kurang pedulinya masyarakat terhadap kesehatan lingkungan terutama pembangunan jamban. Untuk menambah informasi kepada masyarakat, Ahli kesehatan setempat bisa bekerja sama dengan tokoh agama atau tokoh masyarakat untuk melakukan kampanye akan pentingya mempunyai jamban sendiri. Namun jika hanya sebatas kampanye saja tidak cukup, harus ada aksi nyata seperti pembongkaran jamban yang berada di sungai atau kolam. Maka sungai maupun kolam akan steril dari kotoran manusia. 

 

Ditulis oleh: Zulham Dwi Nugroho

Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi UNY

Dimuat di koran Harian Jogja