Kuliah Umum bersama Pakar: dari Amerika Merayakan Kebhinekaan Berbahasa

“Benarkah penggunaan bahasa Jawa sebagai sarana berkomunikasi, khususnya di kalangan generasi muda, sudah mulai memudar eksistensinya belakangan ini?”, pertanyaan serius tersebut mampu dibahas secara renyah dan interaktif oleh pakar antropologi bahasa dari Yale University, Profesor Joseph Errington, dalam kuliah umum daring pada Jumat malam (22/4/2022) lalu. Kuliah umum selama lebih kurang dua jam yang terselenggara berkat kerja sama Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta dan Development Study Club (DSC) ini bertujuan mengulas salah satu karya penting Profesor Joseph yang terbit pertama kali pada tahun 1998 berjudul Shifting Languages: Interaction and Identity in Javanese Indonesia.

Fikri Disyacitta, dosen ilmu komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta, yang bertindak sebagai moderator, memulai diskusi dengan menanyakan alasan Profesor Joseph menjadikan bahasa Jawa serta wilayah Yogyakarta dan Solo sebagai minat kajian untuk menyusun bukunya. Secara personal, beliau mengaku jatuh cinta dengan kebudayaan Jawa saat berkuliah di Wesleyan University. Di sana, Profesor Joseph terkesan dengan penampilan karawitan dan pementasan wayang kulit. Karena mengambil studi linguistik, maka beliau memilih topik bahasa Jawa sebagai fokus penelitiannya. Dalam rangka memperkaya pengetahuan, Profesor Joseph juga mengikuti kelas bahasa Indonesia di Cornell University dan mempelajari bahasa Jawa secara intensif di bawah bimbingan dosen IKIP Malang.

Kesempatan mengunjungi Indonesia datang ketika beliau memperoleh beasiswa Fulbright. Bertolak dari Amerika pada tahun 1976, Yogyakarta merupakan tujuan pertama beliau. “Alasan saya memilih Jawa Tengah bagian selatan [sebagai lokasi penelitian-ed.] adalah karena semua orang bilang kalau mau belajar bahasa Jawa yang paling baik, saudara datanglah ke Yogya dan Solo”, ungkap beliau sembari tersenyum. Saat melakukan penelitian pada tahun 1986, Profesor Joseph memperhatikan adanya kekhawatirkan sebagian kalangan priyayi Mangkunegaran di perkotaan Solo akan punahnya unggah-ungguhing boso Jowo (tata krama berbahasa Jawa yang benar). Sebabnya, generasi muda kelas priyayi yang rata-rata merantau ke luar daerah dinilai sudah tidak memahami lagi struktur baku bahasa Jawa, khususnya kromo inggil, ketika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua.

Berangkat dari masalah tersebut, Profesor Joseph tergerak untuk mengamati apakah kekhawatiran tersebut benar adanya. Hasil pengamatan beliau di wilayah pedesaan menunjukkan bahwa bahasa Jawa sebenarnya masih eksis. Di desa-desa, bahasa Jawa lugu atau ngoko yang dianggap kasar nyatanya masih dipergunakan secara luas. Bahkan, proyek Orde Baru kala itu untuk melakukan Indonesianisasi Bahasa tidak benar-benar mampu menghapus pemakaian bahasa Jawa sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Justru, beberapa istilah dalam bahasa Indonesia mengadopsi istilah-istilah dalam bahasa Jawa. Sehingga menurutnya, lebih tepat jika bahasa Jawa disebut mengalami sinkretisme atau percampuran tanpa menghilangkan karakter asli dari masing-masing bahasa, alih-alih terancam punah. Lebih lanjut, Profesor Joseph menyatakan bahwa fenomena bahasa gado-gado antara Jawa- Indonesia, Indonesia-Betawi, dan lain sebagainya, sejatinya merupakan praktik kebhinekaan berbahasa yang patut dirayakan.

Kuliah umum ini dihadiri oleh 100 partisipan yang terdiri dari peserta mata kuliah sosiologi komunikasi maupun khalayak umum. Antusiasme partisipan sangat terasa dengan banyaknya pertanyaan maupun pendapat kritis. Hal ini turut mendapatkan apresiasi dari Profesor Joseph yang menyampaikan rasa terima kasih kepada semua yang hadir. Acara kuliah umum ditutup pukul 21:00 setelah melakukan sesi foto bersama sebagai kenang-kenangan.