Membincang Demokrasi dan Gaya Komunikasi Elit Politisi

“Bagaimana elite politisi membangun hubungan dengan masyarakat di negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Thailand, dan Filipina?”, pertanyaan tersebut menjadi pemantik kegiatan kuliah tamu bersama Profesor Allen Hicken, pakar kajian perbandingan politik dari University of Michigan, Amerika Serikat, pada Rabu malam silam (28/9/2022). Kegiatan yang terselenggara secara daring berkat kerja sama Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta dan Development Study Club (DSC) Surabaya ini dihadiri oleh 130 peserta mahasiswa mata kuliah Komunikasi Politik serta partisipan umum. Dalam ulasannya, Profesor Allen mengungkap bahwa sistem politik berkontribusi besar terhadap iklim demokrasi dan sistem kepartaian yang berlaku di sebuah negara, “Misalkan, sebelum tahun 1997, [sistem politik-pen.] Thailand masih bercorak otoriter karena rezim militer berkuasa. Saat itu, masyarakat tidak memandang penting berafiliasi dengan partai politik. Padahal, dalam sistem demokrasi, partai politik adalah salah satu elemen penting bagi warga negara untuk menyalurkan beragam aspirasi politik”.

Ia melanjutkan, setelah pemberlakukan Reformasi Konstitusi pada tahun 1997 yang mengembalikan kedaulatan warga negara dalam melakukan mekanisme check and balances terhadap jalannya roda pemerintah, barulah masyarakat Thailand menyadari pentingnya partai politik sebagai pilar demokrasi. Jalannya kuliah tamu kian hangat ketika memasuki sesi tanya jawab. Rahma Kamila, Betran Yunior, dan Kelana Praja (ketiganya mahasiswa Ilmu Komunikasi UNY), menanggapi paparan penulis buku Building Party Systems in Developing Democracies tersebut serta menanyakan bagaimana perkembangan demokrasi di Indonesia hari ini jika dibandingkan dengan Thailand atau negara Asia Tenggara lainnya. Profesor Allen menjawab bahwa Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah untuk meminimalisasikan pola-pola patronase dalam komunikasi politik antara politisi dengan masyarakat.

“Alih-alih menyuburkan pola patronase (pemberian imbalan materi dari politisi kepada masyarakat-pen.) seperti ‘serangan fajar’ atau janji pemberian proyek jika masyarakat mau memilih calon tertentu, Indonesia perlu mendorong pola komunikasi yang lebih mengedepankan adu program dan gagasan”, ucapnya. Sebagai penutup, pria yang meraih gelar doktoral dari University of San Diego itu berpesan pada peserta agar bersama-sama membangun demokrasi, "Memperbaiki kualitas demokrasi memang bukan pekerjaan mudah dan tidak bisa dilakukan seorang diri. Perlu adanya reformasi kelembagaan agar politik diisi oleh orang-orang yang memiliki integritas. Sebab, ongkos yang dibayar akan jauh lebih mahal jika kita tidak memulai usaha untuk memperbaiki demokrasi sedari sekarang", pungkasnya.