Media yang Menjadi Order: Memerintah dan Berkuasa

Judul Buku      : Orde Media, Kajian Televisi dan Media Massa Pasca-Orde Baru

Editor              : Yovantra Arief dan Wisnu Prasetya Utomo

Penerbit           : Insist Press, Remotivi dan Tifa Jakarta

Tahun              : Juni 2015

Tebal               : 295 halaman 

Buku ini membahas mengenai perjalanan dan perkembangan industri media di Indonesia pasca orde baru. Bagaimana industri media sekarang ini hanya menjadi peralihan kuasa para kaum oligarki yang dengannya mereka merumuskan percakapan ratusan juta warga Indonesia. Buku ini mengungkapkan bahwa kita telah tiba pada sebuah rezim baru, di mana sekelompok elite memerintah melalui media. Mereka tidak saja mengatur selera busana dan mendikte cara mengisi waktu luang, tapi juga memilihkan presiden dan mengarahkan ke mana sebuah kebijakan publik harus bermuara. Media tidak hanya hidup sebagai bagian dalam sebuah ekosistem, ia justru telah menjadi sistem itu sendiri. Ia telah menjadi order: memerintah dan berkuasa (Orde Media).

Buku ini merupakan kumpulan tulisan, analisis dan hasil riset yang telah dipublikasikan Remotivi sejak beberapa tahun silam. Dalam buku ini disajikan 37 artikel yang memuat berbagai macam tema mulai dari jurnalisme, interior rumah dalam sinetron, representasi gender dalam etnis, serikat konglomerasi media, sampai komodifikasi agama. Pembahasannya merentang dari teks media, konteks ekonomi-sosisal-politik-budaya, hingga studi khalayak. Buku ini dibagi ke dalam empat bagian yaitu: praktik jurnalisme (melihat performa jurnalisme telivisi dalam meliput isu-isu kontemporer), teks (memuat tulisan-tulisan yang lingkup pembahasannya mengenai apa yang tampil di media), konteks (melihat konteka sosial-ekonomi-politik yang melatari media kususnya televisi, serta bagaimana media dibaca secara sosial) dan khalayak (berhubungan dengan gerakan melek media). Buku ini dibuat sebagai jawaban atas minimnya produksi pengetahuan seputar isu media di Indonesia terutama kajian mengenai televisi.

Membaca buku ini menyadarkan saya bahwa industri media belum bisa merepresentasikan reformasi yang sesungguhnya. Harapan media sebagai public sphere belum bisa diwujudkan dan malah media sekarang ini hanya condong pada pemilik modal. Dalam praktik jurnalis misalnya, Samiaji Bintang dalam artikel yang berjudul “Metro TV Effect” mempertanyakan letak independensi media. Dalam kasus ini, Metro TV sebagai media berita yang pada dasarnya memiliki tugas sebagai “anjing penjaga” malah lebih sibuk mengumpulkan dan menyalurkan dana bantuan kemanusiaan daripa melaksanankan tugas sebagai pengawas proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana (hal 27).

Kemudian pada bagian lain, dalam tayangan televisi bahkan “Ada Untung di Balik Tangisan” (hal 76). Artikel yang ditulis oleh Ambar Arum ini mengulas bagaimana tayangan Jika Aku Menjadi (TransTV) yang mungkin niatnya adalah menggugah rasa kemanusian tapi malah yang terjadi adalah generalisasi definisi miskin dan pengukuran kualitas hidup melalui ekonomi semata. Hal ini kemudian membuat masyarakat pedesaan mengkonstruksi persepsi yang salah terhadap diri mereka sendiri. Tidak hanya terkait dengan banyaknya tayangan-tayangan yang ‘bermasalah’ dalam bagian yang membahas konteks dalam televisi, diketahui bawa berita di televisi pun tak lepas dari campur tangan atau kekuasaan. Hal ini menyebabkan ketimpanggan dalam pemberitaan. Bahkan tidak jarang media digunakan sebagai ajang kampanye para pemiliknya. Pada akirnya khalayak sebagai konsumen media adalah yang paling banyak mendapat dampak positif maupun negatif dari semua konten televisi. Gerakan Literasi Media bisa dijadikan alternatif untuk meng-edukasi masyarakat. Selain dari sisi masyarakatnya yang dicerdaskan, kode etik jurnalistik yang sejatinya menjadi acuan utama di industri media harus diterapkan agar Indonesia memiliki media yang cerdas, yang melaksanakan fungsinya sebagai “anjing penjaga” dan mendorong kemajuan bangsa ini dari waktu ke waktu.

Secara keseluruhan setiap artikel yang dimuat dalam buku Orde Media ini cukup menarik dan bisa memberikan wawasan yang luas terhadap dinamika industri pertelevisian di Indonesia. Beberapa hal yang menjadi catatan adalah bahwa dalam beberapa artikel terdapat pembahasan yang menggunakan Wikipedia sebagai bahan rujukan yang menurut saya kurang terpercaya.  Selain itu, karena pada dasarnya buku ini merupakan kumpulan artikel yang pada awalnya di tulis secara sporadis maka walaupun telah dibagi ke dalam bagian yang spesifik namun konten artikel tidak mengalir dan terkesan acak-acakan. Kemudian mengenai kontributor yang memiliki berbagai latar belakang keilmuan, di satu sisi ini bagus untuk mengembangkan kajian tapi di sisi lain ini juga berpotensi pembuat pembahasan dalam suatu kasus menjadi asumtif. Dalam hal teknis, banyak saya temui kesalahan pengetikan dan ada beberapa halaman yang terbalik. Ada pula satu bab yang terkesan seperti diselipkan. Meski demikian, bagi kita yang sedang belajar tentang kajian media, buku ini bisa dijadikan bahan referensi untuk memahami dinamika pertelevisian Indonesia paska orde baru utamanya.

Add new comment

Plain text

  • No HTML tags allowed.
  • Web page addresses and e-mail addresses turn into links automatically.
  • Lines and paragraphs break automatically.
CAPTCHA
This question is for testing whether or not you are a human visitor and to prevent automated spam submissions.
16 + 2 =
Solve this simple math problem and enter the result. E.g. for 1+3, enter 4.