Fanservice sebagai Bentuk Komodifikasi Tubuh dalam Animasi Jepang

Perkembangan pada dunia media tidak hanya berkisar pada peningkatan efektivitas dan efisiensi dalam penyajian informasi, namun juga mengalami diversifikasi dalam produk-produk media. Salah satu media yang cukup populer pada era ini adalah film. Film, sebagai sebuah jenis media mengembangkan karakterisik unik yang membuatnya mendapat banyak atensi dari khalayak. Film menjadi menarik karena ia memberikan kebebasan bagi kreator untuk merepresentasikan sudut pandang mereka dan menyajikannya pada pada khalayak. Kehendak akan kebebasan berkreasi ini juga memengaruhi lahirnya bentuk film baru yaitu animasi, sebuah bentuk pembuatan film berbasis gambar bergerak baik secara tradisional maupun digital (Oxford, 2021). Film animasi atau disebut animasi saja memiliki daya tarik tersendiri yang bahkan kini menjadi salah satu garda depan industri hiburan suatu negara, salah satunya adalah Jepang.

Secara historis, dunia terutama Barat mengenal pertama kali animasi buatan Jepang adalah Astro Boy karya Osamu Tezuka pada tahun 1963 meski pada 1945 sudah ada animasi yang dibuat berjudul Momotaro (López, 2012). Sekitar setelah masa Tezuka, animasi jepang mengalami perkembangan yang cukup pesat baik dari segi visual maupun kualitas suaranya. Perkembangan tersebut beriringan dengan meningkatnya penikmat animasi Jepang yang dalam komunitas penggemar sering disebut anime. Ada salah satu fenomena menarik yang muncul seiring perkembangan dalam industri anime yaitu fanservice atau harfiahnya “layanan fans”.

Fanservice secara umum dipahami sebagai pertunjukan adegan tertentu untuk memuaskan penggemar seperti kejadian tak sengaja yang menampilkan bagian-bagian sensual atau personifikasi karakter menggunakan pakaian yang menggairahkan (Brenner, 2007). Kata fanservice sendiri lebih umum digunakan dalam industri hiburan Jepang meski apa yang dimaksudkan juga terjadi di negara lain. Sesuai dengan namanya, tujuan dari dimasukkannya adegan-adegan tersebut adalah untuk memenuhi kepuasan penggemar dan juga menarik perhatian mereka. Fanservice dibuat dengan menyesuaikan target pasarnya karena dalam industri animasi Jepang sendiri, ada pembagian segmentasi antara laki-laki dan perempuan. Brenner (2007) memberikan contoh seperti penampakan payudara yang hanya tertutup pakaian dalam ataupun pertunjukkan otot-otot kekar pria di kolam renang.

Selain pembagian berdasarkan gender tersebut, ada juga pembagian fanservice berdasarkan jumlah muatannya dalam suatu animasi. Brenner (2007) memaparkan bahwa fanservice pada segmen shounen dan shoujo umumnya cukup ringan meski terkadang ada yang cukup vulgar, karena segmentasinya pada usia remaja. Pada segmentasi yang lebih tinggi yaitu untuk pria dewasa (seinen) dan wanita dewasa (josei), fanservice yang disajikan lebih intensif dan juga sering mengingat target pasarnya. Pada level yang lebih tinggi lagi, industri animasi melabelinya dengan segmen ecchi, yang muatan fanservice-nya cukup banyak dan vulgar bahkan beberapa menjadi pusat cerita animasi itu sendiri. Terakhir ada segmen yang juga mewakili industri pornografi jepang yang sering disebut hentai, dengan hampir sepenuhnya merupakan konten seksual yang eksplisit dan terkadang ekstrim.

Brenner (2007) selanjutnya menyebutkan bahwa dalam penghadiran fanservice, terjadi objektifikasi manusia terutama perempuan. Karakterisasi perempuan dalam animasi Jepang sering mendapat tempat yang subordinat terhadap laki-laki. Hal ini ditunjukkan adanya segmentasi khusus dengan label harem. Berisi kisah yang berpusat pada seorang laki-laki yang dikelilingi banyak perempuan, meski juga dibuat segementasi tandingan dengan label reverse-harem dengan fokus pada karakter perempuan. Namun, popularitasnya masih kalah dengan label harem. Objektifikasi, dalam hal ini perempuan, sering digambarkan sebagai karakter perempuan yang penurut, penggoda, dan juga perayu laki-laki. Ini tidak lain membentuk fantasi penggemar akan perempuan yang menarik bagi mereka.

Keberadaan fanservice pada dasarnya berpusat pada pemanfaatan tubuh sebagai pembentuk kepuasan seseorang. Hal ini sebelumnya pernah disinggung oleh Laura Mulvey sebagai sebuah scophophilia, ketika seseorang mencari kesenangan dan kepuasan diri melalui representasi visual yang dihadirkan kepadanya (dalam Durham & Kellner, 2006). Mulvey selanjutnya memaparkan bahwa ini terjadi sebagai insting dasar manusia yang memiliki ketertarikan kuat akan erotisme. Fanservice, sebagai salah satu bentuk erotisme menjadi sarana pemenuhan hasrat tersebut.

 

Daftar Pustaka :

Brenner, R. E. (2007). Understanding Manga and Anime. Westport; London: Libraries Unlimited.

Durham, M. G., & Kellner, D. (Ed.). (2006). Media and Cultural Studies: Keyworks (Rev. ed). Malden, MA: Blackwell.

López, A. H. (2012). A New Perspective on the First Japanese Animation. Dalam CONFIA. Portugal.

Oxford, T. D. of. (2021). Animation Noun. Diambil 20 September 2021, dari https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/animation